BPK Terima Kunjungan Kerja Reses Komisi XI DPR RI ke Kepri

Batam – Komisi XI DPR RI mengadakan Kunjungan Kerja (Kunker) Reses Masa Persidangan III Tahun Sidang 2023-2024 ke Provinsi Kepulauan Riau (Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan). Dalam kunker reses tersebut, Komisi XI DPR mengadakan pertemuan Rapat, salah satunya dengan BPK RI.

Pertemuan Rapat antara Komisi XI DPR dengan BPK diselenggarakan di Ballroom Hotel Radisson, Batam pada Sabtu, 2 Maret 2024. Dalam rapat tersebut hadir 8 (delapan) orang Anggota Komisi XI yang diketuai oleh Andreas Eddy Susetyo dari Fraksi PDI-P, Sekretaris Jenderal BPK, Bahtiar Arif, Kepala Biro Humas dan KSI BPK, R. Yudi Ramdan Budiman, Kepala BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau, Emmy Mutiarini, dan para pejabat Struktural di BPK Kepri.

Rapat dibuka oleh Ketua Tim Kunker, Andreas Eddy Susetyo. Andreas Eddy menyampaikan bahwa tujuan Kunker Reses Komisi XI DPR Masa Persidangan III Tahun Sidang 2023-2024 ke Provinsi Kepulauan Riau (Kota Tanjungpinang, Kota Batam, Kabupaten Bintan) adalah untuk memperoleh masukan tentang hal-hal yang berkaitan dengan keuangan dan juga hal-hal yang berkaitan dengan pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK. Rapat dilakukan dalam tiga sesi. Sesi pertama adalah pemaparan oleh BPK. Sesi kedua adalah tanggapan dan atau pertanyaan dari para Anggota DPR, dan sesi ketiga adalah tanggapan oleh BPK atas pertanyaan atau komentar dari para Anggota DPR. Pada sesi pertama, pemaparan dilakukan oleh Sekjen BPK, Bahtiar Arif.

Dalam paparannya, Bahtiar Arif, menyampaikan hasil pemeriksaan BPK, khususnya di wilayah Kepri dan capaian Tindak Lanjut Rekomendasi Hasil Pemeriksaan BPK dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, khususnya pada Pemerintah Kota Tanjungpinang. Bahtiar Arif juga menyoroti isu dan permasalahan seputar Transfer Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah (TKD) pada Kota Tanjungpinang dan hubungannya dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Berdasarkan pemantauan yang dilakukan melalui pemeriksaan dalam kurun waktu tahun 2020-2023, persentase TKD terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kota Tanjungpinang rata-rata mencapai 70%, sedangkan sisanya sebesar 30% bersumber dari PAD. Jadi dapat disimpulkan bahwa ketergantungan pemda terhadap transfer dana dari pusat sangat tinggi.

Di akhir paparan, Bahtiar Arif menyampaikan bahwa hasil pemeriksaan BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau, khususnya di Kota Tanjungpinang, semata-mata ditujukan untuk mewujudkan tata kelola keuangan yang baik melalui pemeriksaan yang berkualitas dan bermanfaat. Sebagaimana diketahui, kinerja tata kelola keuangan daerah dinilai dengan beberapa indikator. Indikator tersebut sebagaimana terdapat dalam Indeks Pengelolaan Keuangan Daerah yang meliputi 6 dimensi penilaian. Pertama adalah kesesuaian antara dokumen perencanaan dan penganggaran, kedua terkait pengalokasian belanja di dalam APBD, ketiga terkait transparansi pengelolaan keuangan daerah dalam konteks informasi pengelolaan pertanggungjawaban keuangan daerah, keempat terkait penyerapan anggaran, kelima terkait kondisi keuangan daerah yang di dalamnya mencakup TKD dan PAD, keenam adalah kualitas pertanggungjawaban dalam bentuk opini BPK atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD).

Selanjutnya, dalam sesi kedua, para Aggota DPR menyampaikan komentar, pertanyaan dan masukan sarannya kepada BPK. Hal yang paling menjadi sorotan adalah permasalahan TKD. Hal ini sebagaimana yang diutarakan oleh Anggota DPR dari Fraksi PKS, Anis Byarwati. Dalam tanggapannya, Anis menyampaikan bahwa hampir seluruh provinsi, termasuk Kepri, sangat menggantungkan hidupnya dari TKD. Porsi anggaran APBD di beberapa daerah ada yang mencapai 70% dari TKD, bahkan lebih. Dengan porsi yang sedemikian signifikan maka apabila TKD terlambat pencairannya dapat mengancam program pembangunan di daerah.

Namun demikian, menurut Anis, kendala penyaluran TKD pada dasarnya masih sama dengan kendala yang ditemui di lapangan 13 tahun yang lalu, dan ini tidak pernah berubah. Kendala-kendala tersebut antara lain misalnya keterlambatan dalam penyampaian dokumen pencairan dan keterlambatan dalam penyampaian juknis. Senada dengan apa yang disampaikan Anis, Andreas Eddy Susetyo juga menyoroti permasalahan yang terjadi seputar TKD, kali ini khususnya terkait dengan realisasi TKD yang hampir selalu terjadi di akhir tahun sehingga kurang berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah. Oleh karena itu, menurut Andreas, kembali menekankan betapa pentingnya bagi semua pihak untuk fokus dalam menyelesaikan kendala dan permasalahan yang muncul seputar TKD, termasuk BPK. BPK diharapkan mampu mendorong dan menjadi jembatan antar kementerian dalam menyelesaikan permasalahan TKD.

Menanggapi pertanyaan dan komentar dari para Anggota DPR, Sekretaris Jenderal BPK, Bahtiar Arif, menyatakan bahwa terkait persentase antara TKD dengan PAD memang diakui selama ini menjadi kendala dan BPK pernah melakukan reviu terhadap kemandirian fiskal dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat bahkan melakukan pemeriksaan kinerja atas pengelolaan PAD untuk mendorong kemandirian fiskal daerah. Beberapa tahun belakangan BPK memang sangat menaruh perhatian terhadap hal tersebut. BPK mengharapkan persentase PAD jika dibandingkan dengan TKD, semakin meningkat. Hal ini diperlukan agar kemandirian fiskal daerah semakin baik kedepannya.

Menambahkan apa yang telah disampaikan Sekjen BPK, Kepala BPK Kepri, Emmy Mutiarini, menyampaikan beberapa hal terkait permasalahn TKD di daerah. Menurut keterangan yang disampaikan Emmy, besaran TKD, khususnya dhi. ke Pemerintah Kota Tanjungpinang, persentasenya masih lebih besar daripada PAD. Berdasarkan hasil pemeriksaan kinerja BPK Perwakilan Provinsi Kepulauan Riau atas PAD untuk mendukung kemandirian fiskal daerah, ditemukan beberapa permasalahan signifikan. Permasalahan-permasalahan tersebut antara lain, pertama terkait sinkronisasi regulasi yang masih bermasalah. Regulasi atau peraturan, mulai dari RPJMN dengan RPJMD serta RPJMD dengan regulasi-regulasi turunan di bawahnya hingga ke RKPD, belum semulus sebagaimana yang diharapkan. Ketidaksinkronan regulasi ini kemungkinan akan berdampak terhadap optimalisasi pencapaian tujuan. Kemudian yang kedua terkait dukungan infrastruktur dan sarana prasarana, Dukungan yang dimaksud mencakup ketersediaan Standard Operating Procedures (SOP), ketersediaan sumber daya dan termasuk tugas dan fungsi antar OPD yang masih tumpang tindih, khususnya terkait kewenangan pemungutan. Contoh nyata dalam hal ini adalah terkait kewenangan pemungutan retribusi sampah. Meskipun nilaianya relatif kecil jika dibandingkan sumber pendapatan lainnya tetapi jika pemungutan PAD dari sektor retribusi sampah ini tidak dikelola secara optimal maka hasilnya pun akan semakin tidak berdampak signifikan terhadap capaian realisasi PAD. Dengan demikian, semakin sulit bagi daerah untuk dapat mencapai kemandirian fiskal. (eko)